Makanan Organik Kian "Ngetren"
UMBI radies (semacam lobak) yang dibudidayakan secara organik oleh produsen sayuran organik Kampung Panaruban, Sagala Herang, Kab. Subang. Sebagian masyarakat perkotaan yang sudah sadar akan pentingnya kesehatan ("health awarness"), makanan organik memang sedang digandrungi.* ADE BAYU
FANNY mengaku sudah mengonsumsi makanan organik sejak dirinya tahu bahwa efek pestisida sangat membahayakan tubuh. "Kebayang kan, tanpa sadar kita sedang menumpuk zat-zat berbahaya seperti karsinogen ke dalam tubuh. Ugh.. ngeri! Bisa-bisa ntar saya kena kanker," ujar Fanny, karyawati sebuah perusahaan BUMN di Bandung.
Lain Fanny lain pula Muti. Bagi Muti, sayuran organik sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Maklumlah, Muti dan keluarganya memang baru kembali ke tanah air setelah 3 tahun ikut suaminya menyelesaikan program doktor di Eropa. "Tapi sayang ya, di sini tidak semua supermarket menyediakan sayuran organik," keluhnya.
Bagi sebagian masyarakat perkotaan yang sudah sadar akan pentingnya kesehatan (health awareness), makanan organik memang sedang digandrungi. Bahkan beberapa kalangan selebriti seperti Sarah Sechan, Gunawan, Sofia Latjuba, dan masih banyak lagi, dengan terang-terangan menyatakan hanya ingin hidup sehat dengan sayuran dan makanan organik.
Menurut standar yang ditetapkan Amerika Serikat seperti dirilis situs food for health, makanan organik adalah makanan yang "100% organik" dan "organik" (untuk yang setidaknya 95%) diproduksi tanpa hormon, antibiotik, herbisida, insektisida, pupuk kimia, radiasi untuk mematikan kuman, atau tanaman/ hewan yang mengalami modifikasi genetis (GMO, genetically modified organism).
Itulah sebabnya, masih menurut situs itu tadi, masyarakat Singapura akan lebih menyukai sayuran dengan bekas gigitan ulat dibandingkan dengan sayuran mulus. Pasalnya, gigitan ulat notabene menjadi penanda bahwa sayuran tersebut diproduksi secara organik.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Menurut Nick Djatnika dari Kandaga Organic, produsen sayuran organik Kampung Panaruban, Sagala Herang, Kab. Subang Jawa Barat, mengonsumsi sayuran organik saat ini sudah menjadi gaya hidup sebagian orang. Hal itu sejalan dengan semakin membaiknya tingkat kesadaran masyarakat terhadap kesehatan.
Jika dikelompokkan, ada dua jenis konsumen sayuran organik. Konsumen yang sudah aware dengan kesehatan dan konsumen mantan pasien yang pernah menderita suatu penyakit tertentu. Konsumen pertama bertujuan lebih kepada menjaga (preventif) sedangkan konsumen kedua bertujuan untuk merehabilitasi (kuratif) kondisi kesehatan mereka.
Namun, jika melihat latar belakang sosial, menurut Costumer Affair Kandaga Organic, Sari yok Koeswoyo, 60 % konsumen sayuran organik adalah kalangan ekspatriat, sedangkan sisanya (40 %) adalah masyarakat pribumi yang umumnya pernah tinggal di luar negeri.
Meski demikian, tren ini semakin berkembang dan meluas. Hal itu seiring dengan semakin banyaknya masyarakat yang ingin hidup lebih sehat.
Jumlah terbesar dari konsumen ini masih dipegang Jakarta, disusul Bogor dan Bandung. Hal itu dapat dilihat dari beberapa permintaan yang masuk langsung kepada dirinya maupun ke focalpoint Kandaga Organic. "Alasan mereka mengonsumsi sayuran ini karena mereka ingin hidup lebih sehat. Masyarakat semakin menyadari bahwa sakit itu jauh lebih mahal dibandingkan dengan sehat," ujar Sari.
Kebutuhan pasar yang kian tinggi ternyata tidak diimbangi dengan ketersediaan barang. Diakui Jatnika, bergerak di sayuran organik memang membutuhkan kerangka berpikir yang berbeda. Meskipun sistem pengelolaannya sangat bergantung kepada alam, semua sistem dan tata kelolanya harus bersertifikasi. Makanya tidak heran jika sayuran organik hanya dapat diperoleh di pasar-pasar swalayan tertentu. Bahkan Sari mengakui, pihaknya lebih memilih sistem delivery untuk melayani pelanggannya. Selain pelanggan lebih terpuaskan, pengantaran barang pun bisa disesuaikan dengan produksi.
Meski demikian, cara seperti itu tidak mempersempit pasar. Promosi dari mulut ke mulut justru lebih memperluas konsumen sayuran organik. Malah Sari mengakui, permintaan seringkali jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ketersediaan barang.
"Mungkin di situlah mengapa sebagian kalangan menilai kalau sayuran organik itu mahal. Teori pasar kan memang begitu. Ketika permintaan tinggi, barang tidak ada, pasti mahal," ujarnya.
Padahal, sistem produksi dan pengelolaan sayuran organik memang harus bersertifikasi. Sedangkan syarat untuk sertifikasi saja memerlukan dana yang tidak sedikit. "Tapi kalau konsumennya sudah aware dengan kesehatan, tidak akan merasa mahal kok. Lagi pula, kesehatan kan memang investasi," paparnya.
**
TREN mengonsumsi sayuran organik di masyarakat diakui ahli gizi dr. Kunkun K. Wiramihardja, M.S. Bila dilihat dari sisi petani, kecenderungan mengembangkan sayuran jenis ini menurut dr. Kunkun merupakan usaha petani untuk memotong kerusakan fisik sayuran dan penyusutan gizi sayuran tersebut. Sebab produksi sayuran yang bukan organik, memungkinkan tingkat kerusakan sayuran sangat tinggi dibandingkan dengan sayuran organik.
Secara fisik, sayuran biasa (anorganik) cenderung cepat busuk dibandingkan dengan sayuran organik. Sayuran ini juga sangat mungkin terkontaminasi insektisida dan pestisida yang digunakan pada proses produksi (penanaman).
Bukan hanya sayuran, tanah sebagai media tanam juga bisa cepat rusak. Karena sayuran yang diproduksi anorganik, harus diberi pupuk kimia dan untuk mengusir hama digunakan insektisida. Akibatnya, mungkin sayuran bisa terbebas hama dan cepat sistem produksinya. Tetapi menghadirkan "penyakit baru" yang merupakan efek dari insektisida dan pestisida.
Sayuran organik lebih banyak dikembangkan oleh para petani intelek. Berbeda dengan sayuran organik. Sejak awal, proses penanaman sayuran organik diupayakan terhindar dari zat-zat kimia. Sayuran organik diproduksi secara alami dengan menggunakan pupuk kandang dan agar terhindar dari hama, digunakan pengusir hama dari tumbuhan.
Cara produksi tanaman ini sebenarnya jauh lebih mahal dan rumit dibandingkan dengan memproduksi sayuran biasa. Oleh karena itu wajar, bila harga sayuran ini lebih mahal dibandingkan dengan harga sayuran biasa (anorganik).
Akan tetapi bila dilihat dari sisi ahli gizi, tidak ada perbedaan kandungan gizi ataupun vitamin antara sayuran organik dan sayuran biasa. Hanya, sayuran organik lebih terhindar dari kemungkinan pencemaran zat-zat kimia pestisida, insektisida, maupun herbisida sehingga konsumen bisa lebih percaya diri bahwa makanan yang dikonsumsinya diproduksi dengan cara sehat.
Kandungan vitamin sayuran sangat ditentukan oleh cara pengolahan dan cara penyimpanannya. Sayuran organik tidak akan bermanfaat bagi tubuh kalau pengolahannya tidak tepat.
Pengolahan sayur oganik yang tepat, sebaiknya direbus walau cumabeberapa menit. Sedangkan untuk sayuran jenis salad/lalap yang langsung dimakan akan lebih aman bila diseduh air panas terlebih dahulu atau dicuci dengan teliti.
Hal itu dilakukan agar terhindar dari telur-telur cacing yang mungkin masih tertinggal. Mengingat sayuran organik tidak menggunakan zat-zat kimia pengusir hama, termasuk cacing. "Mencuci atau merebus sayuran itu penting agar terhindar dari telur-telur cacing. Tetapi jangan berlebihan karena akan mengurangi kadar kandungan vitamin sayuran tersebut," papar dr. Kunkun.
Daya tahan sayuran organik memang berbeda dengan sayuran biasa. Sayuran organik bisa lebih tahan lama bila disimpan di lemari pendingin. Jika sayuran biasa hanya tahan satu minggu di lemari es, sayuran organik bisa lebih lama dua kali lipat.
Meski demikian, konsumen sayuran organik harus tetap memerhatikan cara penyimpanan. Serangga lalat, selama ini dianggap paling berbahaya, tapi jangan abaikan pula kecoa. Penyimpanan sayuran organik yang salah dapat mengundang makhluk menjijikkan ini menghampirinya.
Sama halnya dengan sayuran lain, sayuran organik mengandung vitamin C dan vitamin B Kompleks. Jika pengolahan dan penyimpannya tidak tepat, semua kandungan tersebut akan menyusut atau hilang sama sekali.
Sukses Menjadi Konsultan Kesehatan Bersama Farida Ningsih Seorang Leader Melilea Konsultan Call: 021-73888872
Bisnis Organik Konsultasi Kesehatan Tips Hidup Sehat Melilea
No comments:
Post a Comment