Friday, September 14, 2007

usaha pertanian organik

Menumbuhkan usaha mikro pertanian organik


Pengembangan budi daya pertanian organik ternyata tak hanya mampu memperbaiki kondisi lingkungan yang rusak. Model usaha mikro pertanian ini ternyata mampu mendatangkan keuntungan yang lebih tinggi ketimbang budidaya anorganik.

Di antara jenis lembaga keuangan mikro, unit simpan pinjam koperasi merupakan jenis lembaga keuangan yang paling banyak memberi pembiayaan ke sektor pertanian yakni 61%, sedangkan lainnya maksimal 12%.

Itulah salah satu kesimpulan disertasi B.S. Kusmuljono berjudul Sistem Pengembangan Usaha Berbasis Lingkungan didukung Lembaga Keuangan Mikro yang disampaikan dalam ujian akhir di auditorium IPB, Bogor, 2 Maret 2007.

Mengapa pengembangan pertanian organik tidak berjalan? Seperti apa seharusnya rumusan sistem pengembangan usaha mikro pertanian organik (UMPO) yang didukung lembaga keuangan mikro? Kebijakan apa yang dibutuhkan?

Pria kelahiran Bogor, 24 Juni 1943 dengan nama lengkap Bangun Sarwito Kusmuljono ini mengungkapkan lima faktor yang menyebabkan usaha mikro pertanian organik macet.

Pertama, kelembagaan penanggung-jawab yang tidak jelas. Kedua, kebijakan yang tidak jelas karena tidak ada koordinasi antardepartemen terkait.Ketiga, Petani anorganik tidak siap menjadi petani organik karena tidak ada intervensi pemerintah dan tidak ada sosialisasi.

Keempat, Implementasi slogan Go-Organic 2010 tak jalan akibat tidak ada penyuluhan dan pendampingan. Dan, kelima kesulitan memperoleh kredit untuk pertanian organik akibat lembaga keuangan tidak percaya usaha mikro pertanian organik layak mendapatkan kredit.

Kusmuljono juga merumuskan model sistem pengembangan UMPO yang bankable dan didukung skema pinjaman mikro, yakni Kredit Usaha Mikro Pertanian Organik (KUMPO), dengan agunan utama character dan tanggung renteng tanpa collateral tambahan.

Tak cukup sekadar itu, sejumlah kebijakan publik diperlukan agar lembaga keuangan mampu mendukung pengembangan UMPO.

Pertama, payung hukum lembaga keuangan mikro melalui pengesahan RUU LKM, yang sudah dirintis lebih dari tiga tahun lalu. “Terakhir ada di Kemenkop. Tapi saat ini kami dorong lewat DPD.”

Kedua, perubahan peraturan Bank Indonesia tentang aspek 5-C, khususnya bagi pembiayaan UMPO oleh lembaga keuangan mikro. “Usaha pertanian itu bankable, dapat dibiayai bank. Risiko usahanya bisa dipertanggungjawabkan.”

Ketiga, perlunya peraturan dan langkah strategis pemerintah dalam pengembangan pertanian organik, baik di tingkat pusat dan daerah. Dan, keempat perlu peraturan pemerintah dalam produksi pupuk organik yang ramah lingkungan.

Bila hal tersebut bisa diwujudkan, dia optimistis dana perbankan menganggur di SBI hingga Rp300 triliun secara perlahan bisa disalurkan ke sektor riil. Caranya, melalui lembaga keuangan mikro.

Bank gelap

Senada dengan Kusmuljono, anggota Komisi IV dari F-PG Bomer Pasaribu menilai perlunya kemauan politik pemerintah membuat UU sebagai payung hukum 34.000 lembaga keuangan mikro.

Bila tidak segera diterbitkan aturan itu, maka selamanya yang tidak punya payung hukum akan menjadi bank gelap. Dan perbankan pun tidak mau menyalurkan dananya ke sektor itu.

Anggota Komisi IV dari Fraksi PDIP Mardjono menyatakan RUU LKM dapat diajukan oleh masyarakat atau berdasarkan kajian akademis.

Dia mengkritik pemerintah yang selama 20 tahun menyalurkan dana kepada 15 departemen sebagai dana perwalian dan kemitraan sekitar Rp15 triliun.”Dana itu tak cukup efektif dikeluarkan. Paling-paling petani yang terima dana itu 5%-10%. “

Bila sudah demikian, maka usaha mikro dan kecil, termasuk yang bergerak di sektor pertanian organik tetap sulit untuk hidup dan bertumbuh.

Sumber : Bisnis Indonesia, 9 Maret 2007
Sukses Menjadi Konsultan Kesehatan Bersama Farida Ningsih Seorang Leader Melilea Konsultan Call: 021-73888872

1 comment: